Senin, 28 Desember 2009

Mengkaji Perkembangan Psikologi Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak dan Remaja

BAB I
PENDAHULUAN


Makalah Untuk Memenuhi PAI 
IRAWATI / IAIDU KISARAN
Usia anak-anak dan remaja adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.

Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).

Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.

Perkembangan Jiwa Beragama

Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:

1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.


Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak

Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.

Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.

Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:

a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,

b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.

c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Sifat agama pada anak

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting

Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:

a. Fase Pueral

Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.

b. Fase Negative

Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.

c. Fase Pubertas

Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:

1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki).
2. Perasaan Beragama Pada Remaja

Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.

Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.

3. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:

1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.

4. Sikap Remaja Dalam Beragama

Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:

a. Dalam bentuk positif
semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.

4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.

5. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
• Pengaruh- pengaruh sosial
• Berbagai pengalaman
• Kebutuhan
• Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.

Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.

Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.


DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung 
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung,
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004 
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta






Jumat, 24 April 2009

Pikiran adalah permukaan hati

JANGAN pernah berkata benci, kotor, atau berpikir busuk. Itu nasihat nenek saya. "Nanti, kalau ada setan lewat, bisa terjadi sungguhan," katanya. Saya cuma mesem, cenderung menyepelekan petuah itu.

Maklum, di mata saya, orang sepuh itu suka berpikir aneh, termasuk yang tidak masuk akal.

Pokoknya, ucapan Nenek yang membawa nama setan, jin, dan malaikat saya ibaratkan angin lalu. Tak perlu digubris. "Ya, sudah, kalau tak percaya," katanya. Esoknya, petuah serupa diulang lagi, dan diulang lagi, walau sang cucu selalu menertawakannya. Belakangan, "pelajaran" dari Nenek itu ada benarnya, walau tidak mutlak karena menyertakan setan, jin, dan malaikat sebagai penyebab. Tampaknya. Nenek yang buta huruf dan tak mau memaksakan kehendak itu lebih memahami hidup. Memang, makin berakal seseorang, makin mudah ia memahami alasan orang lain.

Ternyata, pikiran manusia itu bisa "disetel" sesuai dengan daya kehendak. Mengumpat disertai kutukan bisa mewujud nyata jika dilakukan serius. Yang merampas daya itu adalah keraguan. Keraguan merampas keberanian, harapan, dan optimisme. Berpikir busuk, misalnya, bisa melecut ketidakserasian.Berpikir buruk itu rianya menyengsarakan diri.

Membuat suasana jadi muram. Pernah, suatu ketika, famili saya rekreasi ke Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah. Usai menghirup udara segar pegunungan, mereka kembali ke
kota. Jalanan menurun. Tiba-tiba, di balik setir mobil terlintas pikiran negatifnya: "Belasan tahun saya membawa mobil tapi belum pernah merasakan rem blong!"
Belum sampai 10 menit otaknya berpikir rem blong, rem yang diinjaknya jebol sungguhan. Kendaraan meluncur deras. Syukurlah, dia tidak panik. Tahap demi tahap gigi persneling dipindahkan ke gigi kecil. Begitu terkendalikan. mobil dipinggirkan dan rem tangan ditarik, la menghela napas panjang.

"Kok, berhenti," tanya istrinya. "Lha, wong remnya blong," katanya. "Kok, tidak bilang-bilang?" tanyanya lagi. Tentu saja tak perlu dijawab.Sebab, jika fakta itu disampaikan, kepanikan dijamin akan menular ke seluruh penumpang. 'Tuhan masih melindungi kita," ujar dia.

Sebaliknya, pikiran yang positif dapat menghasilkan sesuatu yang sangat mengagumkan la dapat menguasai materi, objek, dan urusan, "la bahkan dapat bekerja dengan sangat mengagumkan, yang orang tak dapat menjelaskannya," tulis Hazrat Inayat Khan.

Pikiran dan perasaan manusia itu memiliki getaran kekuatan. Ketenangan dan kedamaian hati seorang pawang, misalnya, mampu menjinakkan singa liar.

Pikiran singa itu "terpengaruh" oleh si pawang yang cinta damai. Begitu pula dalam arena adu gajah di India. Daya pikir ribuan penonton menghendaki agar hewan itu berkelahi. Keinginan itu direfleksikan pada hewan hingga menimbulkan kekuatan --sekaligus hasrat untuk berkelahi. Ada pula penjinak ular yang bertugas "membujuk" binatang melata itu keluar dari sarangnya, tanpa musik. Pikiran penjinak yang direfleksikan pada ular itulah yang menarik ular keluar dari persembunyian. Ada orang yang mengusir lalat dengan merefleksikan pikirannya pada makhluk kecil tersebut. Kekuatan yang mempengaruhi pikiran serangga itu merupakan bukti adanya daya, bukan keistimewaan.

Ada pula kuda yang mampu memecahkan soal matematika rumit. Jawaban itu merupakan refleksi pikiran pelatihnya yang diproyeksikan pada pikiran kuda. Dalam proses mediumistik, suatu gagasan matematika diproyeksikan pada pikiran kuda. Daya proyeksi dapat ditingkatkan dengan peningkatan daya kehendak, pemikiran, atau perasaan. Inilah rahasia terbesar kehidupan.

Bila pikiran tak jelas, misalnya, terganggu atau terlalu aktif, maka pikiran tidak dapat mengantar refleksi secara utuh. Pikiran dapat diibaratkan danau. Jika angin bertiup dan air beriak, maka refleksinya menjadi tidak jelas. Sebaliknya, jika berair tenang, bisa merefleksikan dengan jelas.

Pikiran adalah permukaan hati, dan hati adalah kedalaman pikiran. Apa yang datang dari dalam menyentuh kedalaman, dan yang di permukaan hanya berada di permukaan. Maka, jangan heran jika dua jiwa yang berhati penuh kasih dan berperasaan halus bisa berkomunikasi melalui pikiran dan perasaan. Jarak bukan halangan.

Maka, si Binu yang lama tak bersua, misalnya, tiba-tiba menelepon atau muncul di depan mata hanya karena "terpikirkan" oleh teman karibnya. Kebetulan? Tidak! Di dunia ini tak ada sesuatu yang bersifat kebetulan. Seluruh perilaku pikiran mempengaruhi urusan hidup. Daya pikir memang punya efek yang dahsyat. Pikiran yang panas membuat "api" di sekitarnya, hingga orang-orang di dekatnya terbakar oleh "api" tersebut. Sebaliknya, pikiran yang tenang dan damai memberi kesejukan pada orang-orang yang berada dalam ruang lingkupnya.

Tentu, semua refleksi ini bukan karena ada setan atau malaikat lewat. Di dunia ini. tiada suatu yang tanpa makna. Juga bukan kebetulan. Tidak sebutir atom pun yang terlepas dari liputan dan rencana Allah. Hanya karena kita tak memahami kehidupan di dunia ini, maka kita berada dalam kegelapan.

"Sesungguhnya, di antara ilmu itu ada yang laksana mutiara tersembunyi, ia tidak diketahui kecuali hanya oleh orang-orang yang mengenal Allah," kata Nabi Muhammad SAW. (disarikan dari Gatra-WY)

SAAT-SAAT PENUH RAHMAT

Bagai kerontangnya bumi karena kemarau panjang, sebagian manusia Indonesia kini sedang dahaga rohani, lebih dari sekadar formalitas ritualagama. Kekecewaan kita dengan amat jelas menunjukkan ada sesuatu yangharus dibenahi sehubungan dengan fondasi hidup kita.

Penderitaan dengan jelas menyingkapkan bahwa ada yang melenceng dari persepsi kita terhadap hakikat hidup. Di tengah kemelut ketidakpuasan, hasutan, kerusuhan, penghancuran, kejahatan, kita merasa semakin takut. Mulai dari rasa takut kehilangan pekerjaan - yang berarti hilang penghasilan - sampai rasa takut pada kematian. Di sisi lain, tangan kita mungkin bersih dari tindak perusakan atau pembunuhan, tetapi toh terselip keberingasan dan kebencian di dalam hati yang selalu kita sembunyikan di balik "topeng" kepalsuan.

Stop segala kegilaan ini! Mari kita peluk kegilaan lain: gila cinta kasih. Susuri kembali jalanNya karena Dialah sumber kesembuhan bagisegala kegalauan rohani kita itu. Memang, warna hidup senantiasa tergantung pada rona "kacamata" yang kita pasang. "Kacamata" kelabu mengubah segala sesuatu tampak serbakelabu. Hidup pun tertatap suram. "Kacamata" bening menjadikan segala sesuatu tampak serbacerah. Hidup pun terpantul indah.

"Kacamata" buruk sangka dan kebencian menjerumuskan kita ke dalam hidup penuh rasa dendam dan curiga. "Kacamata" kedamaian akan membimbing kita ke dalam hidup penuh kedamaian Hidup tentu menjadi baik kalau dipandang dari sudut yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri, berpikir baik tentang orang lain, berpikir baik tentang keadaan, berpikir baik tentang Tuhan.

Berpikir baik niscaya berbuah baik. Relasi antaranggota keluarga dipenuhi kehangatan. Relasi antarkawan diwarnai rasa saling percaya. Relasi antartetangga dijalini keakraban Pekerjaan menjadi menyenangkan.

Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. "Kacamata" buruk sangka dan kebencian menjerumuskan kita ke dalam hidup penuh rasa dendam dan curiga. "Kacamata" kedamaian akan membimbing kita ke dalam hidup penuh kedamaian. Hidup tentu menjadi baik kalau dipandang dari sudut yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri, berpikir baik tentang orang lain, berpikir baik tentang keadaan, berpikir baik tentang Tuhan.

Berpikir baik niscaya berbuah baik. Relasi antaranggota keluarga dipenuhi kehangatan. Relasi antarkawan diwarnai rasa saling percaya. Relasi antartetangga dijalini keakraban. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah.

Hidup menjadi indah. Kesadaran akan semua itu pastilah harus ditumbuhkan, berbareng niat yang bulat untuk mewujudkannya. Memperkuat diri dengan keimanan dan hati nurani, itulah jalan penuh rahmat.

Bercakap-cakaplah dengan Tuhan berdua. Setelah itu. ajaklah teman. Sertakan pula "musuh" untuk ikut bercengkerama bersama denganNya. Lalu, baurkan diri dengan kenyataan. Hadapi angkara murka dengan pelukan persahabatan. Ringankan hati untuk memaafkan kekhilafan. Setelah itu mudah-mudahan kita semua terbebas dari segala kegilaan ini. Semoga Tuhan selalu bersama kita (SB-intisari)

Open your heart

Banyak orang bilang, cinta begitu sulit ditebak, la bagaikan burung yang menari-nari disekeliling kita. mengepakkan sayapnya yang penuh warna, memikat dan menarik hati kita untuk menangkapnya. Saat kita begitu menginginkan cinta dalam genggaman, ia terbang menjauh. Namun saat kita tidak mengharapkan, cinta hadir tanpa diundang. Kita pun tidak bisa memaksakan cinta sekehendak hati kita. Memang, cinta adalah fenomena hati yang sulit dimengerti.

Sebenarnya kita tidak perlu memeras otak terlalu keras untuk mengerti cinta, bahkan semakin keras kita memikirkan cinta, maka semakin lelah pula kita. Cinta adalah untuk dirasakan, bukan dipikirkan. Yakinlah bahwa cinta yang kita inginkan akan datang pada saat yang tepat. Namun bukan berarti kita hanya duduk menanti cinta.

Sebarkanlah cinta, pada keluarga, sahabat-sahabat kita, dan sesama. Dengan memberikan cinta, maka kita telah 'mengundang' cinta untuk datang. Kita hanya perlu membuka hati. Biarkan kecantikan hati kita memancar, mempesona cinta-cinta yang terbang di sekililing kita untuk akhirnya hinggap dan bersemayam di hati kita selamanya.

Open your heart, then it will find its own way....

Sebuah Catatan Kehidupan

Semakin panjang usia kita, semakin panjang pula catatan pengalaman hidup kita. Bagi mereka yang mau memetik pelajaran dari pengalamannya, maka pengalaman jadi kekayaan yang unik baginya. Usia membawanya pada kebajikan. Sedangkan bagi mereka yang acuh, pengalaman tak lebih dari goresan di atas pasir pantai. Usia tak menjamin
apa-apa selain ketuaan baginya.

Meski kita sama-sama dinaungi oleh langit yang sama; meski kita samasama diterangi oleh cahya matahari yang sama: meski kita sama-sama digelapi oleh malam yang sama, namun kita tak pernah sama dalam mencerap semua itu. Kita melihat cakrawala dari ketinggian yang berbeda. Kita melangkah di jalan setapak dengan bobot yang berbeda.

Kita mengisi ruang dan waktu ini dengan besar tubuh yang berbeda pula. Maka. meski kita lahir di bumi yang satu. namun kita hidup di dunia yang berbeda-beda. Kita mempunyai sidik dunia pikiran yang tak sama bagi setiap orang. Keunikan itu takkan banyak berarti bila tak menjadi kekayaan bagi kita. Dan, kekayaan itu tak banyak bermakna bila tak membuat diri kita semakin bijak bestari.